gubahan saya

cerita seru

Jumat, 29 Juni 2012

KIRANI NAMANYA


Kenalkan, panggil saja aku Raymond (Ray). Saat ini berusia 22 tahun,
dan kuliah di sebuah universitas terkemuka di Surabaya, dan belum
juga lulus. Nah, begini. Aku sama sekali tidak merasa diriku ganteng,
pandai, ataupun alim. Aku mantan pecandu (hampir semua sudah aku
coba) yang berhasil rehab (yang ternyata banyak sekali gunanya).
Hampir setiap hari aku melakukan hubungan seksual dalam bentuk
bagaimanapun, dan maaf-maaf saja, aku tidak pernah melakukannya
dengan pereks ataupun pelacur, tapi perawan kampus maupun anak SMU,
dan terkadang tangan kiriku. Ah.. itulah sebabnya. Aku merasa
beruntung dilahirkan dari sebuah keluarga menengah, yang sanggup
membelikanku sebuah city-z dan m35 untuk bekal kuliah.
Hanya modal
itu? Tidak dong. Modal utamaku = Mulut dan Otak! Mau tahu caranya?
Coba kuulas pengalamanku baru-baru ini.

Aku mengenal Kirani sebenarnya melalui no. telp di phonebook HP
temanku. Waktu itu, aku hanya sekedar iseng mengecek nomor-nomor
cewek yang ada di situ. Dan, voila! Kulihat nama KIRANI. Ah, pertama
kali tentu saja aku tidak berharap banyak. Siapa tahu toh tampangnya
kayak kuntilanak, hueheuheuhe... tapi suatu hari, tapatnya tanggal 9
Desember 2000, karena nganggur abis, di samping pingin merasakan
`fresh meat', kucoba menghubungi nomer telponnya.

"Hallo."
Lah kok suara bapak-bapak?
"Selamat malam, bisa dengan Kirani, Pak?" sahutku dengan nada sesopan
mungkin.
"Dari siapa?" jawab suara di seberang.
"Dari Ray, Pak."
Dan bapak itu memintaku menunggu.
"Halo?"
Eh merdu juga suara si `neng' ini. Dan karena ia di rumah, padahal
ini malam minggu, berarti...
"Halo? Kirani?" tanyaku dengan suara dimaniskan.
"Siapa ini?" gadis itu bertanya.
"Ray." Jawabku singkat.

Sistemnya begini, kita tidak bisa membuat cewek tertarik pada
konversasi kita hanya dengan menggunakan interogasi lapuk seperti
`rumahnya di mana', `kuliahnya di mana',`udah punya pacar belum'.
Namun kita pasti bisa menarik perhatian seorang cewek apabila kita
menyerbunya dengan sebuah cerita atau pertanyaan spesifik di luar
identitasnya. Dan itulah yang kulakukan, tanpa memberinya kesempatan
untuk menanyakan identitasku.

"Ah, cuman Ray saja." jawabku, dan dengan cepat kulanjutkan, "Aku
pingin curhat..." dan membiarkannya bingung dan merasa lucu sendiri,
akhirnya (90% cewek selalu begini) ia berkata, "Oke deh, curhat apa?"
Masuk, kan? Kalau dia tidak bilang begitu, tinggal saja. Cewek
seperti itu takkan bisa masuk perangkap... hehehehe.
"Begini, Rani..." dan akupun mengarang cerita tentang betapa cintaku
dikhianati seorang gadis yang sudah kukasihi sekian tahun lamanya,
betapa hatiku sedih membayangkan seluruh pengorbananku sia-sia dan
sebagainya (pokoknya yang sedih-sedih dan semua salah si cewek).
"...begitu." aku mengakhiri ceritaku, "Bagaimana menurutmu?"
"Gimana, yaa..." suaranya terdengar ragu, "Menurutku sih, yang salah
ceweknya..."
Sampai di sini aku menarik nafas lega, jadi aku sudah berhasil
menarik simpatinya atas penderitaanku. Dan kami berbincang-bincang
cukup lama mengenai masalah itu sampai akhirnya ia kembali
menanyakan, "Ray siapa sih? Tahu nomer telponku dari mana?" Namun
tentu saja dengan nada yang lebih akrab. Oh, satu hal yang selalu
kupegang, jangan pernah terlalu banyak cerita mengenai diri sendiri,
karena mendengar cerita lawan bicara dengan baik akan memberikan
kesan yang baik pula, cerita mengenai diri sendiri justru akan
bernuansa membosankan. Jadi kujawab apa adanya dan kuajukan
pertanyaan universal yang membuatnya banyak omong kepadaku, sampai
akhirnya ia bertanya sendiri, "Dih, aku cerewet yah?" Oh, tentu
tidak. Ceritamu sangat menarik, walaupun aku ngantuk mendengarnya,
dan rokokku hampir habis. Hehehehe.

Jadi aku berhasil mendapatkan alamatnya, cukup, jangan mendesak lebih
lanjut, kukatakan aku akan menelponnya besok, ia setuju, dan tanpa
menunggu lebih lama, aku langsung menuju ke jl. Gubeng Airlangga xx
no. xx. Tidak mampir, aku hanya melihat dan melewatinya saja. Santai,
tak perlu terburu-buru. Dan daripada nganggur, aku langsung berangkat
ke kos-kosan te-te-em (teman tapi mesra) ku di Barata Jaya xx.
Mengajaknya keluar jalan-jalan dan membujuknya hingga dia mau
menghisap penisku di dalam mobil.

Keesokan harinya, tepat pukul tujuh malam, sesuai janji kemarin, aku
melancarkan serangan berikutnya. Kali ini kuawali dengan bercerita
tentang sebuah tabrakan maut yang entah di mana (aku lupa, soalnya
aku hanya mengarang saja, hehehe), yang membuatnya sangat tertarik,
lalu menarik simpatinya dengan pengalamanku dengan mantan kekasihku,
si narkoba, dan membahas topik permasalahan kemarin, sehingga aku
berhasil berbicara dengannya kurang lebih satu jam setengah. Seperti
biasa pula, cewek akan merasa akrab kalau kita bisa membuatnya
tertawa, senang, dan banyak omong. Sehingga...

"Rani, aku pingin tahu wajahmu loh." kataku tiba-tiba.
"Kapan? Sekarang? Udah malam lagi." kudengar Rani berkata di
seberang. Jadi sudah boleh, kan.
"Besok, jam lima sore."
Jangan membuat langkah ragu, dan pilih waktu yang tak membuatnya
curiga.
"Okeh, nggak pa-pa. Kutunggu."
Pembicaraan yang lama akan membuat seseorang lupa ketika berjanji,
sehingga Rani lupa bahwa besok masih puasa, jadi aku bisa menawarkan
berbuka puasa bersama setibanya di kosnya. Lumayan cerdik? Tentu
saja. Oh, beberapa hari ini kukonsentrasikan energiku untuk
mengejarnya, jadi sejenak aku mengesampingkan tuntutan nafsuku,
paling tidak sampai aku mendapatkan Rani.

Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Jangan pernah menunjukkan
perubahan dari gaya bicara di telpon dengan saat bertemu, seburuk
apapun kemungkinan yang akan terjadi. Dan ternyata, wow, sangat jauh
dari buruk. Heran juga kenapa temanku bisa dapat no. telpon si Rani.
Anaknya cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya bergelombang
mengingatkanku kepada Bella Saphira, hanya dadanya sedikit kecil
untuk tipeku, selebihnya oke-oke saja, bahkan sangat oke. Kuusahakan
membuat ia tertawa terus, dengan mengarang cerita-cerita konyol dan
memainkan raut wajahku. Matanya berbinar-binar, sebagai pernyataan
keakrabannya denganku. Dan ketika aku mengingatkannya pada waktu buka
puasa, setelah menunggunya shalat (aku shalat darurat di mobil,
hehehe), kamipun meluncur mencari tempat makan. Oh, tentu saja
kuusahakan mencari tempat kelas menengah yang menimbulkan kesan
atraktif, seperti Wapo Airlangga, misalnya.

Selama perjalanan, aku agaknya berhasil membuatnya terpesona dengan
sikap gentle-ku. Ia tersenyum manis saat kuberikan sebatang Toblerone
(yang sudah kusiapkan sebelumnya), dan mengucapkan terima kasih saat
kubukakan pintu mobil untuknya. Dan ketika aku menanyakan kapan
ketemu lagi (bukan `boleh ketemu lagi?'), ia langsung
mengatakan, "Jumat aku kosong." Dan lihat, semuanya sangat perfect!

Hari Jumat aku mengajaknya jalan, dengan terlebih dahulu memberikan
alasan bahwa aku paling bosan duduk terus, dan dengan keakraban yang
sudah terjalin, alangkah mudahnya mengajaknya keluar. Hari itu aku
mengajaknya ke Pizza Hut di Plasa Tunjungan untuk sekedar minum dan
makan salad, karena kami sudah berbuka puasa sendiri-sendiri sebelum
aku ke kosnya. Kali ini perbincangan kami seputar tipe cewek
idamanku, dan tipe cowok idamannya. Dan tentu saja, dengan menjadi
pendengar yang baik, aku bisa mencocokkan tipe cewek idamanku dengan
sifat-sifatnya yang sudah kukira-kira dari cerita-ceritaya selama
beberapa hari yang lalu. Dan aku tahu, tipe cowok idamannya pastilah
sudah kupenuhi semua, kecuali studi tentu saja, soalnya aku paling
malas kuliah. Aku tahu, kemungkinan untuk me'nembak'nya saat itu
masih 80% berhasil. Jadi kuputuskan untuk menahan sabar. Aku hanya
memancing dengan kata-kata, "Enak yah, punya cewek kaya kamu."
Dan
itu bisa membuatnya tersanjung, membubung tinggi ke awang-awang...
dan... brukkk? Oh, itu nanti saja.

Sabtu besoknya, nah ini yang seru. Pukul sembilan malam, aku
menelponnya tiba-tiba, yang tentu saja membuatnya bertanya-tanya. Dan
kubilang, ada hal penting yang membuatku harus ke sana sekarang juga.
Karena itu `hal penting' akhirnya ia bersedia menemuiku. Hohoho...
sesampainya di kosnya, aku langsung berlutut, tanpa mempedulikan
teman-temannya yang lagi nonton TV di ruang tamu. Memegang tangannya
dan memintanya menjadi pacarku. Hehehe, wajahnya tersipu, dan aku
tahu dalam keadaan begini, dilihat oleh teman-temannya, hanya 1%
kemungkinanku untuk ditolak. Dan begitulah, ia ikut berlutut dan
menganggukkan kepalanya, diiringi suit-suit teman-temannya yang
menyaksikan kami. Dengan luapan kegembiraanku (berhasil! berhasil!)
kupeluk pinggangnya yang ramping dan kuangkat tinggi-tinggi,
membuatnya menjerit-jerit kecil dan teman-temannya tertawa. Aku,
langsung pulang, membiarkannya larut dalam kejadian yang mungkin
baginya sangat luar biasa, hahaha... jahatnya aku.

Minggu besoknya, kami berdua menghabiskan waktu di Dunkin's Donuts,
sambil bercerita `ngalor-ngidul'. Oh, Rani yang lugu. Tarkadang
terselip rasa menyesal... masa? Hohoho...
Hari Selasa, minggu lalu, aku berhasil mencium bibirnya, untuk hal
ini, aku selalu menjaga reputasiku yaitu dengan tanpa harus
mengajukan pertanyaan bodoh seperti "boleh kucium bibirmu?". Kalau
pingin cium, ya cium saja. Itu prinsipku, buat apa tanya?

Jumat kemarin, aku mengajaknya shalat tarawih. Setelah itu, aku
mengajaknya berputar-putar di jalanan Surabaya, sambil memeluk dan
menikmati lengan kiriku yang tertekan `susu'-nya. Dan sampailah kami
di saat setan lewat, dimana kami diam menikmati `kebersamaan' kami.
Nah, saat itulah kubisikkan di telinganya, "Rin, ke rumahku yuk."
Rina hanya menggelendot manja di pelukanku.

Ah ya, aku tinggal di Surabaya dengan mengontrak sebuah rumah yang
lumayan di daerah Rungkut Harapan. Aku tinggal bersama dua orang
temanku. Yang tentu saja sudah kusuruh ngacir ketika aku berhenti
untuk mengisi bensin.
Lalu...

Rani tidak meronta ketika sambil berdiri kupeluk dan kulumat
bibirnya. Aku tidak pernah menutup mataku kalau sedang berciuman, hal
yang bodoh, karena melihat matanya yang terpejam dan hidungnya yang
kembang-kempis merupakan sebuah kenikmatan tersendiri bagiku."Ahh..."
kudengar nafasnya yang mendesah saat kupegang dan kuremas payudaranya
dari lapisan bajunya, "Oohhh.. hhh..." kurasakan nafasku juga sedikit
memburu, kumasukkan tanganku ke dalam bajunya, meraba raba cup BH-
nya, menikmati kekenyalan `bemper'nya. Kubiarkan saja tangannya
tergantung di sisi-sisi tubuhnya, lagipula, Rani (sesuai
pengakuannya) kan masih hijau dalam berpacaran.. hehehe... bingung
kali dia harus ditaruh di mana tangannya, tidak seperti Eci yang
pasti sudah langsung merogoh celanaku.

"Mmmhh..." kulumat bibirnya yang terbuka, dan kutekan pantatnya
dengan tangan kananku sehingga menekan penisku yang mulai `siap
grak'. "Hhhh..." hembusan nafasnya terasa mulai cepat... dengan tetap
memeluknya (dan tanganku masih meremas payudaranya), kubimbing dia
memasuki kamarku. Toh nggak ada orang, jadi kubiarkan pintu kamar
terbuka. Kududukkan dia di tepi ranjangku, sip. Kuangkat kakinya dan
kujatuhkan kepalanya sehingga ia berada dalam posisi terlentang,
sementara aku berjongkok di sebelah ranjang. Kulumat lagi bibirnya,
sementara tangan kananku mengangkat bajunya hingga BH-nya menyembul
keluar, dan menyelipkan tanganku di BH-nya, merasakan putingnya yang
mulai mengeras di ujung jari-jariku.

"Ahhh... uhhh..." Rani mulai mendengus-dengus menikmati sentuhanku.
Tanpa pikir panjang, langsung kuraih kancing celananya dan menarik
reitsletingnya, ehk, tangannya memegangi tanganku, matanya mendadak
terbuka... ups... "Sssshh.... kamu percaya kan sama aku?" bisikku di
bibirnya. Dan kulumat bibirnya sebelum ia sempat menjawab apapun.
Kurasakan pegangannya pada tanganku melemas, matanya mulai terpejam
lagi. Jadi kuteruskan saja. Kumasukkan tanganku di lipatan celana
dalamnya yang berwarna krem, merasakan bulu-bulu vaginanya yang
lebat, memijat-mijat permukaan vaginanya, merasakan tanganku basah
oleh `cairan'nya. "Aahhh... hhh... mmm..." kudengar nafasnya yang
mendesah-desah dan matanya berkerut-kerut saat kujepit labia
mayoranya dengan jari-jariku, memainkannya, memijat-mijatnya, dan
kepalanya tertarik ke belakang saat jari tengahku menemukan kelenjar
vaginanya dan menekan-nekan serta menggosok kelenjar tersebut.Akupun
tenggelam dalam kenikmatanku sendiri, `adik'ku sudah tegang sekali,
jadi akupun bangkit berdiri, melihat matanya yang masih terpejam dan
bibirnya yang tergigit.

"Ray.. hhhh..." kudengar ia mengeluh sambil memandangiku saat kutarik
celananya berikut celana dalamnya. Bulu-bulu vaginanya terlihat lebat
dengan celah yang mengundang, bibir vaginanya tampak memerah, mungkin
akibat gesekan dan pijatan jariku tadi. Dan tanpa menunggu reaksinya
lebih lanjut, kumasukkan kepalaku ke dalam lipatan pahanya dan
menjilat penuh nafsu, "Aahhkkk... nnggghh..." kudengar ia mengeluh,
badannya bergerak-gerak, pahanya menjepit kepalaku saat kugerakkan
lidahku menjilat-jilat kelenjar vaginanya. Kunikmati rasa anyir yang
memasuki mulutku, kuangkat tanganku, meraih kedua buah dadanya
sekaligus, dan menekan-nekan memijat-mijat, membuatnya menjambak-
jambak rambutku, pantatnya mulai terangkat dan bergerak liar.

Kutinggalkan vaginanya, dan bangkit berdiri, lalu melepas bajuku dan
celanaku. Oh... Rani rupanya lebih memilih untuk tidak melihatku
telanjang. Ya sudah, pikirku. Kubuka pahanya dan kutempelkan batang
penisku ke atas vaginanya. Mmmhhh... kunikmati benda yang empuk itu
menekan penisku. Kubiarkan saja. Kuciumi bibirnya dan kuangkat
punggungnya, melepaskan kaitan BH-nya, dan mengangkat bajunya
melewati kepala dan tangannya, sementara Rani hanya pasrah saja,
sambil sesekali mengeluh nikmat. "Ahhh..." kuhembuskan nafasku penuh
kenikmatan saat kujatuhkan tubuhku menempel ke tubuhnya yang
telanjang. Kugerak-gerakkan pinggulku, mambuat penisku menekan dan
menggesek kemaluannya. Kuciumi matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya,
menelusuri lehernya, ke dadanya, kuremas payudaranya dan kuhisap
putingnya yang berwarna coklat muda secara bergantian.

"Ray... ahh..." kudengar Rani menyebut-nyebut namaku penuh
kenikmatan, kutekan penisku lebih kuat, menggesekkannya menelusuri
celah vaginanya, licin, terkadang kutarik penisku agak jauh turun,
dan menekan maju, sehingga menekan lubang vaginanya dan menyibakkan
bibir-bibirnya ke samping. "Ahhhh... kkk... hhh... aahh..." nafasku
memburu, dadanya terasa hangat di dadaku, kuciumi lagi bibirnya yang
terbuka terengah-engah, kuangkat sedikit dadaku, membiarkan ujung-
ujung putingnya menyapu kulitku, kupegang pantatnya dengan tanganku
dan kutekan lagi penisku. "Rani... uhhh..." aku mulai terbawa nafsuku
sendiri.

Kutarik lagi penisku, dan kali ini menekannya agak kuat, dan (aku
sendiri kaget) Rani menjerit kesakitan saat ujung penisku mendadak
masuk persis di lubang vaginanya.
"Ray... jangan..."
bangsat... kepalang tanggung.
"Rani... please..." desahku, ujung penisku masih menancap sedikit di
ujung lubangnya yang sempit.
"Ray... jangan, Ray..."
Shit... kutekan lebih dalam... Rani menjerit kecil, "Aaaachkkk...
nnggghh..." kulihat air mata menetes di pipinya. Shit... shit....
kugigit lehernya dan.. shit... kutekan sekali lagi lebih dalam.
"Ray... hhkkk..."
Kutarik.. kutekan lagi.
"Rani... uhhhh..."
Ahhkhkkh.. dan cepat-cepat kutarik keluar sebelum spermaku memasuki
vaginanya. Kulepaskan gigitanku, merasakan penisku yang menempel di
sprei ketika kuturunkan pantatku. Keringat membasahi tubuhku.
v"Rani ..?" kucoba memanggil namanya, "Rani...??"
"Rani..!!" kuangkat tubuhku, dan kulihat mukanya yang memerah.
Buliran air mata tampak jatuh dari ujung matanya, Rani menggigit
bibir bawahnya, matanya terpejam dan alisnya berkerut, hidungnya
kembang-kempis. Shit... kulirik ke bawah dan alangkah terkejutnya aku
melihat setitik gumpalan darah kehitaman menodai ujung penisku yang
mulai mengecil.

"Rani... sakit ya?" tanyaku sambil kuturunkan tanganku menyentuh
celah vaginanya, menggosok-gosok sebentar. Kulihat mata Rani masih
terpejam dan air matanya masih keluar, bibirnya bergetar. Kugosok
lagi celah vaginanya dengan gerakan memijat dan kugosokkan di kulit
pantatku.
"Rani... sori yah... sakit?" terus kuulang-ulang pertanyaan itu
sambil tetap menggosok-gosok, akhirnya kulihat tangannya terangkat
menutupi matanya, dan Rani mengangguk perlahan.
"Uuuuh.. sayang..." kukecup manja bibirnya.
"Kusayang, yah?" tanyaku pelan dan dia mengangguk. Kuturunkan
kepalaku ke perutnya, terus turun sehingga aku dapat melihat dengan
jelas kondisi vaginanya. Wah, lumayan hancur.

Kuperhatikan dengan seksama, memastikan tak ada noda yang menempel,
kubelai noda-noda yang tersisa dengan tanganku, membaurkannya dengan
air liurku, dan menggosokkannya di pantatku sambil
berkata, "Disayang, yaa... cup cup..." Sebentar-sebentar kutekan
permukaan vaginanya, memastikam cairan itu tidak keluar lagi. Setelah
yakin semuanya bersih. Kutarik tubuhku ke sampingnya, kupeluk Rani
dengan mesra, dan kubisikkan di telinganya,
"Rani... kamu tahu apa yang membuatku senang saat ini?"
Rani menggeleng lemah, tangannya masih menutupi matanya.
"Hihihi... bener mau tahu?"
Rani diam saja... bahunya masih bergerak-gerak.
"Ngga sampai bobol kok... tuh lihat saja... masih bersih..."
Dan Rani mengangkat tangannya, tertawa sambil menangis dan memelukku.
"Kan aku sudah bilang tadi... percaya dong sama Ray," ucapku setengah
berbisik, dan kukecup keningnya. Ahh... Rani.

Uwaahh... aku mungkin harus bersyukur entah pada setan mana soalnya
spreiku tak sampai ternoda, bisa cialat deh kalau Rani melihat ada
noda di situ. Dan... satu lagi nama perawan masuk ke buku harianku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar